Adab-Adab dan Cara Istinja
Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny
Adab-Adab dan Cara Istinja’ merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 20 Dzulhijjah 1441 H / 10 Agustus 2020 M.
Download kajian sebelumnya: Arti Istinja’ dan Hukumnya
Kajian Tentang Adab-Adab dan Cara Istinja’
Pada pertemuan sebelumnya kita sudah membahas tentang bagaimana kita beristinja’ dan kita sudah membahas juga tentang hukum istinja’. Kita katakan hukum istinja’ itu wajib karena tanpa istinja’ seseorang tidak bisa shalat yang diwajibkan kepada dia. Dan istinja’ adalah perbuatan untuk menghilangkan najis yang menempel pada tubuh kita. Kita diperintahkan untuk membersihkan tubuh kita dari najis sehingga istinja’ hukumnya wajib.
Yang menjadi masalah adalah ada sebagian orang yang yang dia sakit beser. Jadi ada najis yang keluarnya tidak bisa dikendalikan. Misalnya seseorang terkena penyakit salasul baul, kencingnya tidak bisa dia kendalikan, tidak keluar banyak tapi keluar sedikit dan yang sedikit itu tidak bisa dikendalikan. Bagaimana kewajiban dia untuk istinja’? Apakah setiap keluar dia harus istinja’? Apakah setiap keluar dia harus berwudhu? Ini dibahas oleh para ulama.
Para ulama mengatakan bahwa orang yang terkena penyakit Salasul Baul yang dia tidak bisa menahan kencingnya, maka hukumnya disamakan dengan seorang wanita yang terkena penyakit istihadzah istihadhah, yaitu keluar darah terus-menerus tidak hanya di waktu haid saja, tapi keluar darah terus-menerus. Darah adalah najis. Lalu bagaimana kalau dia shalat dan di tengah-tengah shalat keluar darahnya. Disitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada wanita yang terkena penyakit istihadhah untuk wudhu di setiap shalatnya sampai datang waktu shalat yang berikutnya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ، حتَّى يَجِيءَ ذلكَ الوَقْتُ
“Wudhulah engkau disetiap shalatmu sampai datang waktu shalat yang berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi orang yang terkena penyakit istihadhah, seorang wanita keluar darah terus dari farji’nya terus-menerus baik waktu haid ataupun tidak, ini penyakit. Kalau ada orang yang demikian, maka cukup dia berwudu ketika akan melakukan shalat. Misalnya dia akan melakukan shalat dzuhur, silahkan dia bersihkan dulu kemudian berwudhu. Lalu setelah itu dia tidak usah memperdulikan darahnya yang keluar itu. Walaupun ada darah yang keluar, dia dibolehkan untuk shalat. Hal ini dikarenakan udzur atau keadaan khusus. Kalau tidak demikian, maka orang tersebut tidak akan bisa shalat. Maka pada contoh ini, silakan shalat dhuhur kemudian dia dibolehkan untuk melakukan shalat-shalat yang lainnya di waktu itu sampai datang waktu shalat berikutnya. Nanti ketika datang waktu shalat ashar, dia diwajibkan untuk berwudhu lagi. Kalau misalnya dia melihat ada najis di celananya maka dibersihkan dulu, diganti pembalutnya, kemudian setelah itu tidak usah dia memperdulikan lagi, dia wudhu lalu shalat ashar. Setelah itu dia baru wajib untuk berwudhu lagi ketika waktu shalat maghrib datang. Kecuali kalau misalnya dia batal dengan cara yang lain. Batal wudhu misalnya dengan kentut, batal wudhu karena dia bab. Tapi kalau dia tidak batal wudhunya kecuali karena istihadhahnya itu, maka dianggap wudhunya tidak batal karena istihadhah tersebut adalah penyakit.
Orang yang terkena salasul baul juga demikian. Orang yang tidak bisa menahan kencing disamakan oleh para ulama dengan kasus perempuan yang terkena istihadhah. Jadi silahkan dia berwudhu sebelum shalat. Kalau misalnya dia ingin kencing dulu, silakan kencing. Kemudian setelah itu berwudhu. Setelah itu tidak usah dia mempedulikan keluarnya air kencingnya lagi. Karena kalau harus berwudhu setiap air kencingnya keluar, maka dia tidak akan bisa shalat, karena akan terus keluar. Maka silakan dia shalat sampai selesai bahkan sampai waktu shalat berikutnya.
Adab-Adab Ketika Beristinja’
Gunakan tangan kiri
Jangan sampai kita menggunakan tangan kanan kita ketika beristinja’, gunakan tangan kiri. Tangan kanannya untuk membasuhnya, sedangkan tangan kirinya untuk membersihkan kotoran itu. Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu melarangnya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ ، وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ ، وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ
“Jangan sampai salah seorang dari kalian memegang zakarnya ketika dia kencing dengan tangan kanannya. Jangan sampai juga dia membersihkan kotorannya dengan tangan kanannya. Dan jangan sampai dia mengeluarkan nafas ketika dia minum di wadah minumnya.” (HR. Muslim)
Ini adab-adab yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Intinya di dalam hadits ini ada kata-kata: “Jangan sampai dia membersihkan kotorannya dengan tangan kanannya.” Ini dilarang oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tidak menyentuh kemaluan dengan tangan kanan
Ini juga disebutkan dalam hadits tadi:
لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ
“Jangan sampai salah seorang dari kalian memegang kemaluannya ketika dia kencing dengan tangan kanannya.” (HR. Muslim)
Ini larangan dari Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka harusnya kita meninggalkannya.
Menyipratkan air ke farji’ atau ke dzakar
Menyipratkan air ke farji atau ke dzakar ini adalah bagi orang yang terkena was-was. Seringkali ada orang yang terkena was-was dalam masalah istinja’ ini. Dia merasa keluar air sedikit, padahal sebenarnya tidak. Hal ini karena dia memang terkena penyakit was-was. Orang yang terkena penyakit was-was, maka dia disyariatkan untuk menyipratkan air ke farji’nya. Tujuannya adalah untuk menghilangkan was-wasnya.
Bagaimana menyipratkan air ke farji’ bisa menghilangkan was-was seseorang? Karena dia bisa membuat alasan untuk dirinya ketika ada was-was itu. Dia bisa mengatakan: “Itu tadi basahnya karena cipratan, bukan karena kencing”.
Adab untuk orang was-was ini pernah dicontohkan langsung oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyabdakan:
تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً وَنَضَحَ فَرْجَهُ
Pernah suatu ketika beliau berwudhu kemudian beliau mencipratkan air ke farji’nya. Para ulama mengatakan bahwa ini untuk menghilangkan was-was. Kalau seseorang terkena was-was, maka lakukan hal ini. Kalau tidak ada was-was, tidak perlu melakukan hal ini. Makanya kata-kata dalam haditsnya: “Suatu kali pernah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu kemudian beliau mencipratkan air ke farji’nya.” (HR. Ad-Darimi)
Menjauh dari manusia ketika sedang buang hajat
Ini adab untuk buang hajat secara umum. Ketika kita buang hajat, kita diperintahkan untuk menjauh dari manusia. Ini kalau tidak ada toilet yang tertutup. Dizaman dulu ketika tidak ada toilet, maka silahkan menjauh dari manusia. Jangan sampai di dekat manusia, karena hal itu akan mengganggu; mengganggu dari sisi pemandangan, mengganggu dari sisi bau.
Coba kita lihat di terminal-terminal, seringkali orang yang mereka karena tidak mau membayar toilet umum, akhirnya mereka kencing di belakang-belakang bis. Kadang-kadang kencing di bannya bis. Apa yang terjadi? Banyak orang yang akhirnya terganggu oleh bau dari air kencing itu. Dan tentunya ini sesuatu yang mendatangkan dosa bagi pelakunya. Karena dia telah mendzalimi banyak orang di situ. Bahkan bisa jadi orang-orang yang terdampak oleh perbuatannya tersebut bisa jadi mendoakan suatu keburukan. Dan kita harus takut dalam masalah ini. Karena doa buruk orang yang dizalimi mustajab.
لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Takutlah kepada doanya orang yang dizalimi. Karena antara doanya orang yang dizalimi dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak ada penghalangnya sama sekali.” (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa doanya orang yang dizalimi itu mustajab. Maka harusnya kita takut mendzalimi orang lain, apalagi banyak orang.
Intinya bahwa diantara adab yang berhubungan dengan buang hajat adalah kita menjauh apabila tidak ada tempat khusus untuk buang hajat. Menjauh dari manusia agar tidak dilihat oleh manusia juga agar tidak mengganggu manusia.
Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila beliau ingin buang hajat dan tidak ada tempat khusus seperti di zaman ini, beliau pergi menjauh ke tempat yang tidak dilihat oleh manusia. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh sahabat Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, beliau pernah mengatakan:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَأْتِى الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يُرَى.
“Kami pernah bersafar bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah buang hajat kecuali beliau pergi ke tempat yang lapang dan menjauh sampai benar-benar hilang dan tidak dilihat oleh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Ini untuk memberikan penekanan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu perginya jauh sekali sampai tidak dilihat. Tujuannya adalah agar auratnya tidak dilihat oleh manusia dan agar tidak mengganggu manusia. Tetapi apabila toiletnya sudah ada tempat khusus dan sudah tertutup, maka tidak harus menjauh dari manusia. Walaupun jaraknya hanya 5 meter tapi memang tempat khusus untuk buang hajat, maka tidak ada masalah sama sekali karena tujuannya sudah tercapai.
Lalu apalagi adab-adab dan cara istinja’? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan selanjutnya..
Download mp3 Kajian Tentang Adab-Adab dan Cara Istinja’
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48844-adab-adab-dan-cara-istinja/